KELUARGA.
Keluarga adalah sesuatu yang tak tergantikan.
Keluarga adalah bagian dari hidup.
Dan saya bersyukur memiliki mereka yang disebut
KELUARGA.
Pada setuju kan ya, kalau dibilang keluarga itu
adalah sesuatu yang tak ternilai harganya.
Ada yang tak sependapat? Semoga tidak.
Mereka yang sependapat mungkin memiliki keluarga
yang "biasa-biasa" saja - seperti saya, berada pada kehidupan normal
yang tak banyak drama, ibarat sinetron yang tak ada klimaksnya, semuanya
baik-baik saja, menjadikan setiap episode adalah bagian penting yang tak boleh
tertinggalkan. Dan saya bangga berada di keluarga "biasa" ini -
bersama ayah, ibu, dan kakak.
Yah... awalnya, kalimat keluarga adalah
segalanya menurut saya sudah paten dan tak terbantahkan. Ternyata
tidak. Saya tahu semua itu setelah bertemu mereka di Petak Hijau.
Petak Hijau? Iya Petak Hijau, tempat saya
menghabiskan waktu seperempat hari di setiap harinya, kecuali hari libur. Tak
begitu penting itu di mana, tapi ketahuilah di sini unik-unik manusianya, pun
keluarganya, tak biasa, seperti keluarga saya yang "biasa-biasa"
saja.
Di Petak Hijau ini, saya yang "biasa",
seolah baru melihat "alam bebas" (Tarzan kali -____-"). Mungkin
karena sebelumnya saya hanya mengenal orang dari keluarga "biasa"
dengan kehidupan normal mereka, jadi agak beda ketika melihat mereka yang
"tak biasa" dengan kehidupan yang tidak normal menurut saya.
Mulanya saya kira adegan-adegan "drama"
dalam keluarga itu hanya ada di teve-teve. Namun saya sadar, itu salah setelah
saya di sini. Saya bingung, sinetron yang menggambarkan kehidupan nyata atau
kehidupan lah yang mencontoh dari sinetron. Ada banyak sekali "drama"
yang Tuhan skenariokan di tempat ini. "Drama" yang dimainkan oleh
manusia-manusia unik, menurut saya. Mengapa unik? Karena tak "biasa"
seperti saya.
Saya di sini hanya penonton. Penonton yang berada
satu frame dengan para aktor dan aktrisnya. Pelakonnya adalah para orang
tua dan masing-masing anak mereka. Mereka mempunyai watak yang berbeda-beda.
Ada orang tua yang mengatasnamakan sayang namun
terlalu berlebihan membela anaknya, salah atau pun benar. Kebenaran hanya milik anaknya. Jika ada
kesalahan, maka kesalahan itu milik anak lain, bukan anaknya, meskipun
jelas-jelas anaknya bersalah. Contoh ketika anaknya berantem dengan anak lain,
mesipun anaknya yang mulai, tapi sang orang tua tetap nyalahin anak orang. Lah
yang jadi anak kan jadi enak-enakan karena merasa selalu dibela, sehingga ia pun
merasa selalu benar. Menurut saya, ini bisa jadi bahaya kelak ketika anak tersebut
tumbuh dewasa. Mungkin dari sini, tumbuh cikal-bakal manusia-manusia egois.
Padahal, dulu ketika saya di usia anak itu, kalau
ketahuan berantem, jangankan dibela, bukan saya yang mulai duluan pun tetap
saya yang dimarahin. Makanya, dulu saya tak pernah berani mengadu kalau lagi
berantem dengan teman, sampai ada yang luka pun berusaha ditutup-tutupi. Sempat
berpikir orang tua saya tak adil, namun di usia sekarang saya mengerti.
Bertengkarnya anak-anak? Ah biasalah… satu menit, dua menit sudah main bareng
lagi… ckckck.
Ada lagi orang tua yang over protective sama anaknya. Meskipun saya tahu itu adalah bentuk
kasih sayang tulusnya, tapi yang namanya “over” tetap berlebihan menurut saya.
Kasihan anaknya yang tak bisa bebas ngapa-ngapain, tak bebas bermain atau
berekperimen dengan lingkungannya, tidak boleh ikut kegiatan ini-itu, bolehnya
hanya belajar (titik). Jadi anaknya pasti tertekan. Tambah lagi jika orang
tuanya nuntut ini-itu, harus bisa ini, harus bisa itu, namun kemampuan anak
terbatas, parahnya kalau sang cenderung tidak bisa apa-apa. Contoh orang tua
menuntut supaya anaknya dapat ranking satu sedangkan anaknya menghitung aja masih
pinjem jari teman. Nah loh!
Dulu – saya mau main di empang pun kalau sudah
izin ke orang tua ya boleh-boleh saja. Intinya ya “izin”. Yah, meskipun memang
banyak larangannya juga, itu biasalah orang tua, mereka lebih tahu mana yang
baik atau buruk. Tapi kalau sampai menuntut yang tidak bisa dilakukan sang
anak, apalagi sampai menghukum jika anak tak bisa mengabulkan keinginan orang
tua, itu TERLALU.
Ada lagi orang tua yang masa bodoh sama anaknya. Anak
yang seperti ini tumbuh sesuai dengan pengaruh lingkungannya. Syukur-syukur
kalau orang di sekitarnya baik-baik, nah kalau bawa pengaruh negatif? BAHAYA.
Di Petak Hijau.
Di samping watak para keluarga di sini yang
macam-macam, skenario-skenarionya pun juga luar biasa jika di"film"-kan.
Persis seperti reality show di teve-teve. Siang itu, seorang anak yang menjadi korban perceraian dari kedua orang tuanya, diperebutkan di tengah umum, sang ibu menarik tangan kanan anaknya, sedangkan ayahnya menarik tangan kiri anaknya. Bisa bayangkan bagaimana perasaan anak yang seragamnya masih putih-merah itu. Sedangkan di samping mereka ada sang adik yang menangis sejadi-jadinya walaupun ia mungkin tak begitu paham apa yang terjadi karena usianya baru beberapa tahun. Orang-orang di sekitar mereka, termasuk saya tak ada yang berani berbuat apa-apa, selain menonton dengan mata yang berkaca-kaca. Saya hampir tak habis pikir dengan kedua orang tuanya. Miris lihatnya, sampai air mata saya berat sekali dibendung. Saya bersyukur ditakdirkan bersama orang tua saya seperti sekarang.
Cerita lain tentang seorang anak yang juga korban
perceraian orang tuanya yang memang berbeda agama. Lebih miris ceritanya ketika
anak ini berkali-kali pindah agama. Menurut saya agama itu sakral, dan tak
boleh dimain-mainkan. Tapi wajar sih, untuk anak seusianya yang belum paham
apa-apa menuruti saja yang orang tuanya tetapkan. Tapi nyesek rasanya, ketika
anak itu berkata pada saya bahwa besok kami tak lagi seagama. Mungkin bagi
orang lain masalah simpel, tapi bagi saya masalahnya tak semudah itu. Yah, saya
bisa apa? Berdo’a yah hanya berdo’a, semoga ia dengan sendirinya kelak
menemukan jati dirinya yang terbaik.
Ada juga ia yang mempertaruhkan keluarganya untuk
mencari kesenangan lain yang jelas-jelas akan mempertaruhkan keutuhan keluarga.
Ada pula yang merintih menangis karena pengkhianatan ayah terhadap ibunya. Ah… lagi-lagi
yang saya sedihkan adalah anaknya.
Ada juga cerita perjuangan seorang anak yang
harus tetap bersekolah dengan keterbatasan ekonomi orang tuanya, padahal ia bersekolah
di sekolah swasta, tentu biayanya lebih mahal. Namun semangat anak ini seolah
benar-benar membayar jerih payah kedua tuanya. Saya berharap anak seperti ini
kelak menjadi anak sukses yang berbakti.
Banyak lagi konflik keluarga yang memberikan
pelajaran hidup yang sangat berharga bagi saya. Pengalaman hidup adalah guru
berharga. Hidup mereka adalah pengalaman bagi saya. Semoga kalian pun dapat
memetik pelajaran dari hidup mereka!
Dari Petak Hijau.
Lagi-lagi saya bersyukur dengan takdir Tuhan yang
menempatkan saya pada keluarga seperti sekarang. Semoga kebahagian senantiasa
menyertai kita di dunia hingga di akhirat kelak. Amin.
Menarik sekali postingannya. Kata Ayah Edy : Indonesia strong from home... Iya bener sekali Bund karakter orang dewasa salah satunya terbentuk dari pola dan pendididkan karakter di keluarganya :)
BalasHapusSedih banget liat anak2 yg bernasib demikian, korban broken home atau apalah. Semoga kita dihindarkan dari hal2 demikian :D
Amin... setuju Indonesia strong from home, tapi iya sayang sekali kalau ada yang broken home...
HapusKeluarga lah yg menempa kt mnjadi dewasa...
BalasHapusiya benar sekali...
Hapus