Bulbin Hitam-Putih,
Bulbin. Begitu kamu
menamaimu. Kamu suka sekali malam, kamu suka memandang bulan dan bintang.
Mungkin itu alasan kamu menyebut dirimu Bulbin, bulan bintang. Hitam-Putih?
Entah apa maksudnya, aku belum sempat bertanya dan tidak akan pernah sempat.
Aku ingat bagaimana caramu
memuji purnama di malam yang cerah. Kawah bulan jelas sekali terlihat, matahari
di belakangnya gagah sekali menyinari sempurna bulan malam itu. Kamu
mencari-cari celah untuk menemukan cacatnya. Namun purnama itu nyaris sempurna.
Tidak ada yang tak pantas dipuji. Ditambah lagi bintang-bintang di
sekelilingnya, bertaburan di hamparan langit malam. Bagimu, hanya ada satu yang
dapat menandingi indahnya, oh tidak menandingi, tapi sama indahnya. Kamu ingat
bagaimana tergila-gilanya kamu ketika melihat sabit yang ditemani venus, ah
romantis sekali mereka berdua di langit. Indah, yah memang indah, seperti
melihat bagian atas masjid.
Sedangkan aku? Aku suka
siang, aku suka sekali awan. Saat ia diarak angin, dalam hitungan detik sulit
sekali mendapatkan bentuk yang sama. Bentuknya indah dan tak pernah sama
di mata kita, mereka unik, terkadang melebur dan terkadang membelah diri layaknya amoeba. Bentuknya sesuai imajinasi. Kamu ingat waktu kita
menebak-nebak bentuk kumulus? Kita selalu berdebat. Yah, kumulus... bagaimana
bisa awan yang seperti bunga kol itu mengundang selisih di antara kita? Lucu
sekali mengingatnya.
Perbedaan itu tak lantas
memisahkan kita. Kita semakin dekat. Kita sama-sama menjadi lebih sering
memandang langit. Dulu, kamu sering mengajakku menatap langit malam. Meski kita
di tempat yang berbeda, langit kita tetap sama, dengan satu bulan dan ribuan
bintang menemaninya.
Kini, semua tak mungkin
lagi kita lakukan bersama, karena kehidupan yang menjarakkan kita, sejak kau
memilih meninggalkan hiruk pikuk dunia. Tuhan cepat sekali memanggilmu, aku
yakin itu karena Ia sayang.
Firasat, Jum'at 27 Mei
2011.
Bin, kehilanganmu adalah
pertama kalinya aku merasakan firasat.
Entah kenapa saat itu aku
tiba-tiba sangat merindukanmu. Semenjak kita tamat sekolah dan berpisah kota,
kita memang jarang sekali berjumpa. Terakhir kita bertemu tepat sehari sebelum
lebaran tahun lalu. Kamu ingat lagu yang aku selipkan di handphone-mu saat itu?
Lagu itu pula yang aku putar tepat beberapa hari sebelum kepergianmu.
Aku menikmati sore itu
dengan mendengar musik yang terputar secara random di ponselku. Kamu tahu? Aku
tiba-tiba tertegun saat lagu yang ku kirimkan itu dimainkan. Perasaanku
membuncah, kerinduanku menyesakkan. Anehnya kantung mata ini tak sanggup menahan
air bening yang mengalir tanpa permisi. Isak itu datang tanpa sebab.
Saat itu hampir jam empat
sore, aku berniat menelponmu, mencurahkan kerinduan yang datang seenaknya.
Sebenarnya aku juga berniat meminta maaf karena tidak membalas sms-mu yang
sebenarnya bergetar saat aku membacanya, aku juga berencana meminta maaf karena
tak mengucapkan selamat di hari ulang tahunmu dua bulan yang lalu. Asal kamu
tahu Bin, aku tak pernah lupa hari ulang tahunmu, bahkan sampai sekarang, tapi
entah kenapa enggan sekali waktu itu mengucapkannya. Padahal kamu selalu rela
menelponku tengah malam sekadar memberikan ucapan dan do'a tepat di tanggal
kelahiranku. Kamu bilang kamu ingin jadi orang yang pertama yang memberikan
selamat. Bukankah itu berarti istimewa?
Yah, aku ingin sekali
menelponmu saat itu, tapi belum sempat aku lakukan salah seorang teman kampusku
tiba-tiba menelpon memberi tahu ada perkuliahan sore itu. Hey... sudah jam 4
lewat? Dosen mana yang tega memecah rindu dengan dua SKS dadakan sesore itu.
Karena sudah beberapa kali absen di mata kuliah itu, mau tidak mau ku paksakan
juga secepat mungkin menuju kampus, tanpa sadar ku urungkan niatku menelponmu.
Kamis, 2 Juni 2011
Belum tepat pukul enam
pagi, telepon rumah berdering nyaring, ku sendiri yang mengangkatnya,
ternyata telepon dari temanku yang juga temanmu, Bin. Tanpa basa basi, katanya kamu
telah pergi. Pergi dan tak akan pernah kembali. Kecelakaan itu telah memisahkan ruh dari jasadmu. Awalnya aku tak percaya, tapi ia berusaha meyakinkanku. Ia tinggal di dekat rumah kerabatmu, dan ia tahu kabarmu dari kerabatmu itu, ia ingin aku
percaya, tapi bagaimana bisa?
Kututup telepon itu, ku
langsung menuju ibu, kuceritakan siapa yang baru saja menelpon dan apa yang
disampaikannya. Melihat mataku yang berkaca-kaca, ibu langsung menenangkanku.
Ibuku juga sangat mengenalmu, Bin. Dari wajahnya mengisyaratkan bahwa dia juga
tidak percaya dengan kepergianmu. Kami masih berharap berita itu hanya isu yang
disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ibuku menyuruhku memastikan
berita itu langsung ke rumah nenekmu yang juga rumah tempat kamu dibesarkan.
Pagi itu juga aku yang
masih dengan baju tidurku langsung ke rumah nenekmu yang juga ku anggap rumahmu. Tak
butuh lebih dari sepuluh menit untuk ke situ. Baru sampai di depan lorong,
tanganku mengeras, tak sanggup rasanya mengendalikan motorku untuk lebih dekat ke
rumahmu. Tapi kupaksakan juga.
Sepagi itu rumahmu sudah
ramai, rasanya tak perlu lagi bertanya, aku sudah tahu jawaban dari semua keraguanku. Tanpa menghiraukan siapapun, aku langsung masuk ke rumahmu
dan ku temui sosok yang benar-benar ku kenal, nenekmu. Nenek yang telah
membesarkanmu. Lama juga kamu bertahan tanpa dekat dengan orang tuamu, sejak mereka ditugaskan ke luar kota entah kenapa kamu lebih memilih tinggal bersama nenek. Mungkin karena itu kamu dan nenek itu menjadi sangat dekat.
Nenekmu menatap sendu ke arahku, ia seolah mengerti apa yang
akan kutanyakan. Ia belum menjawab apa-apa karena memang aku belum menanyakan
apa-apa. Tapi aku sangat mengerti situasi ini, pandangannya sudah menjelaskan
semua. Kami beradu pandang kemudian seketika ia langsung mengangguk dan menyuruhku bersabar. Ia menjawab tanpa butuh
pertanyaan, tepat sekali dengan apa yang ingin ku tanyakan. Seperti halnya bom
waktu yang dalam hitungan detik meledak tak terkendali. Air mata yang tadinya
enggan mengalir kini tumpah sejadi-jadinya. Seharusnya aku datang memenangkan
nenekmu, tapi apa yang kulakukan, aku malah menyusahkannya, ia yang malah
berusaha menenangkanku. Tubuhku membeku, sulit sekali digerakkan tapi lebih
sulit lagi menerima kenyataan bahwa kamu telah pergi jauh.
Setelah aku merasa cukup
kuat, aku pulang untuk mengganti pakaian, selanjutnya aku kembali ke rumahmu,
menanti jasadmu yang dikirim dari kota tempatmu menuntut ilmu. Aku menunggumu
dengan lebih tenang, tanpa air mata. Di detik-detik kehadiranmu, aku masih
berharap itu bukan kamu. Tapi kenyataan tak bisa terelakkan. Bunyi sirine
mengaung mendekat, memecahkan keheningan yang sengaja kami bentuk. Kini kamu
sudah ada di hadapanku, terbaring kaku dengan balutan kain putih yang
menyelimutimu. Ternyata aku tak sekuat yang ku duga, tangisku pecah Bin,
setengah mati rasanya.
Keluargamu memberi
kesempatan untuk melihatmu lebih dekat untuk yang terakhir kali, tapi tak
kulakukan. Melihatmu hanya mengundang kembali penyesalan. Aku menyesal, kemarin aku tak jadi menelponmu, aku menyesal belum sempat meminta maaf, dan
aku menyesal tak membalas sms itu, pesan singkat yang menggetarkan.
Ternyata bukan cuma aku
yang kamu kirimkan pesan singkat itu, kamu juga mengirimnya ke
sahabat-sahabatku yang juga sahabatmu. Di pesan itu tersirat kalau kamu
membutuhkan kami, kamu tak bisa jauh dari kami. Kalau dipikir-pikir pesan itu
cukup berlebihan, tapi menjadi sesuatu ketika kamu telah pergi. Itu pesan
terakhir darimu, dan mungkin itu isyarat kepergianmu. Bodohnya aku yang
terlambat tahu.
Siang itu, aku tak peduli
ada perkuliahan apa, aku ingin terus menemanimu hingga ke peristirahatan
terakhirmu. Aku lakukan semua bukan untuk menebus penyesalanku, tapi karena memang aku belum siap melepasmu.
Aku hanya manusia biasa
yang tak bisa mengelak dari takdir Yang Kuasa. Waktu yang akan menuntunku,
hingga ku ikhlas menerima bahwa sekarang aku tanpamu.
Malam setelah kepergianmu.
Bersyukurnya kamu masih
diberi kesempatan hidup, meski akhirnya di rumah sakit juga kamu habiskan sisa hidupmu.
Walaupun tubuhmu dibalut perban putih, kamu sempat pulih, bahkan kamu sudah
mulai suka bercanda lagi, kamu juga sudah bisa menikmati jus alpukat
kesukaanmu, ibumu yang menceritakan semuanya padaku. Kata ibumu, tanda-tanda
kamu akan pulih kembali itu sangat besar, bahkan dokter yang bilang. Ibumu
berjanji akan menghadiahimu operasi plastik setelah kamu sudah benar-benar
kuat. Namun dokter tetaplah manusia biasa yang tak tahu entah kapan Tuhan
memanggil pasiennya. Yah, saat itu masih dengan aroma alpukat, kamu tiba-tiba
saja melemah kemudian menutup mata untuk selamanya. Mungkin benar kata ibumu, seseorang yang merasa ia akan pergi, ia akan menjejakkan hal indah untuk orang yang ditinggalkannya.
Jujur aku sempat kecewa sebab kamu tak berusaha memberi kabar tentang keadaanmu, tapi kekecewaan itu berbalik kembali menjadi penyesalan ketika aku menduga kamu pun juga sudah kecewa terhadapku. Jikalah begitu, benarkah berarti kita pernah saling mengecewakan, Bin?
Lima tahun setelah
kepergianmu, lima tahun bukankah itu sudah sangat lama? Kini, seharusnya aku
sudah melupakanmu. Tapi tidak, aku tidak bisa benar-benar melupakanmu, setelah
hampir enam tahun kebersamaan kita. Bagaimana mungkin aku melupakan setiap
kenangan yang kita ciptakan, bagaimana bisa aku melupakan bulan bintang padahal
hampir setiap malam aku memandangnya, bagaimana bisa aku melupakan awan yang
sering mengundang perdebatan di antara kita, bagaimana pula aku melupakan hal-hal yang ingin kita wujudkan bersama.
Bin, kamu ingat? Dulu kita
pernah berkhayal punya sekolah sendiri, membuat aturan sendiri, dan memilih
siapa saja yang akan kita gratiskan sekolahnya. Gedung sekolahnya kita cat berwarna biru, di gerbangnya kita tulis kata "Blue", alasannya sederhana
cuma karena memang kita sama-sama suka warna langit. Di sekolah, kita jugalah
yang akan mengajar nantinya, untuk itu kita harus mengambil kuliah dengan
jurusan yang berbeda meskipun di fakultas yang sama, pendidikan.
Berkhayal, yah berkhayal,
dulu kita menganggapnya berkhayal, tapi sekarang tidak, Bin. Aku sudah
mencatatnya di daftar mimpiku dan aku masih berjuang untuk itu. Berjuang untuk
mewujudkan khayalan kita.
Bin, belum lama ini aku
memimpikan adikmu. Kami duduk di tepi sungai terpanjang di kota kita,
memandangi menara yang menghujam langit jingga. Kami bicara begitu akrab,
mengenang kisah semasa hidupmu. Padahal belum pernah kami bertemu langsung,
hanya pernah melihatnya sekilas di acara pemakamanmu. Sekarang kalaupun ditakdirkan bertemu mungkin kami tak saling mengenal. Entah bagaimana
caranya ia bisa berkelana dalam tidurku.
Mimpi itu, Bin. Mimpi
itulah yang sekarang memanggil semua ingatan tentangmu. Mimpi itu yang
menyeretku kembali ke masa itu. Mimpi itu pula yang kini mengundang rindu.
Bin, merindukanmu itu sama
saja memanggil kembali perasaan bersalahku, kecewa, penyesalan, atau apalah itu
namanya, semua yang tak ingin ku ingat, karena terlalu menyakitkan.
Bin, tahun pertama dan kedua aku masih sering mengunjungi makammu, tahun berikutnya aku masih sering menyelipkan namamu dalam do'aku. Dulu aku masih sering menggugu ketika mendengar lagu itu. Sekarang? Di tahun kelima ini apa yang aku lakukan? Percayalah Bin, aku tak pernah berniat melupakanmu. Namun jangan salahkan waktu yang perlahan menghapus bayanganmu.
Bin, tahun pertama dan kedua aku masih sering mengunjungi makammu, tahun berikutnya aku masih sering menyelipkan namamu dalam do'aku. Dulu aku masih sering menggugu ketika mendengar lagu itu. Sekarang? Di tahun kelima ini apa yang aku lakukan? Percayalah Bin, aku tak pernah berniat melupakanmu. Namun jangan salahkan waktu yang perlahan menghapus bayanganmu.
Sahabatmu,
Awan
* * * * *
Belakangan saya sering membaca surat terbuka teman-teman saat blogwalking. Macam-macam tujuannya. Coretan ini terinspirasi dari kalian. Misalkan boleh coretan ini dinamakan surat terbuka, maka saya berharap Tuhan menyampaikannya untuk sahabat saya yang telah lebih dahulu menghadap-Nya. Semoga kami kelak dipertemukan di surga. Amin. Al-Fatihah.
Persahabatan yang abadi, senangnya punya sahabat seperti Awan. hehehe
BalasHapustulisan mbak bagus-bagus. bolehlah sharing-sharing hehehee.
Terima kasih tya, blog tya juga keren :)
HapusYukkk kia sharing-sharing, kita udah kenal kan ya...hehe
so sweet ^_^
BalasHapussweet sugar :)
HapusMataku berkaca kaca baca ini :')
BalasHapusSuka malam? Hitam dan putih? Mungkin maksudnya dia hitam karena malam dan kamu putih karena suka siang. Ataukah bulan dan bintang terlihat putih sinarnya diantara malam yang hitam pekat? Entahlah..
Seakan kejadiannya barusan dan cerita ini mengingatkanku akan sahabatku yang meninggal 11 tahun lalu..
Al-Fatihah ya mbak untuk sahabat-sahabat kita :)
HapusIya ya, mungkin itu ya maksudnya, kok nggak pernah kepikiran :')
terharu bacanya saya... ceritanya menyentuh hati...
BalasHapussukses ya..
Terima kasih :')
Hapussungguh kehilangan yang menyayat hati
BalasHapus:')
HapusHmmm sedih juga ya mbak, iya mbak saya juga mampir ke blog lain dan kebanyakan isinya tentang surat seperti ini.
BalasHapusKAyaknya emang lagi musim surat terbuka... hmmm :)
HapusAmin.
BalasHapusMudah-mudahan keinginan kamu bisa tersampaikan :)
Aamiiiiin....
Hapusaku juga dulu ada sahabat, se SMP, Kuliah bareng, bahkan beberapa kali duduk sebangku, namun setelah menikah sahabatku itu diuji sakit yang lumayan bikin kami kaget, akhirnya meninggal di usianya yang ke 25, aku pas smp pisah sma aja nangis, terus ketemu lagi kuliah, lulusan nikah eh dia dipanggil duluan..rasanya ga bisa diungkap, nyesek
BalasHapustidak perlu ikatan darah ya dalam persahabatan :')
Hapusmungkin benar "orang yang selalu membuatmu tertawa, akan membuatmu menangis di akhir hidupnya" :')
Kalau bicara masalah sahabat gini bawaanya mewek mewek gimana gitu..
BalasHapusmeweknya karena kita terpisah oleh kesibukan..
nggak bisa kumpul2 kayak dulu lagi :-(
Mungkin ini sebuah pelajaran yang sangat berharga, bahwa jangan menunda apa yang ingin kita lakukan pada seseorang sebab bisa jadi ini adalah hal terakhir yang bisa kita lakukan untuknya.
BalasHapusSetiap pertemuan memang harus diakhiri dengan perpisahan ya mbak Kautsar, semoga temannya diberi tempat yang terbaik disisi Allah SWT, aamiin..
andai ada yang mau, saya ingin jadi awan wkwkw
BalasHapusKeren, makna tulisannya dalam, tentang persahabatan ya, jadi terharu :-(
BalasHapuskeren-keren, saya jadi ingin nulis surat terbuka juga di blog :D
BalasHapusKeren karyanya. Eh mbak kenapa gak dikirim aja ke media cetak. Kayaknya punya bakat deh hehe
BalasHapusUdah lama kepikiran untuk nulis surat terbuka, tapi masih ragu. Banyak kekhawatiran...ceh ileh... :D hahah
BalasHapusPenyesalan datangnya memang terakhir, untuk pelajaran, harus sering sering silahturahmi.
BalasHapusassalamualaikum kautsar, sudah pernah nulis cerita pendek di koran? atau ada niat nulis buku fiksi?
BalasHapusjarang jarang ikatan persahabatan seperti ini sampai sampai ada ikatan batin.. nahan nangis.
BalasHapussalam kenal mba,tulisannya bagus
Kalo sudah berpisah dan kehilangan, biasa nya kita baru sadar ttg arti sebuah kebersamaan dan memiliki
BalasHapus