Minggu, 22 November 2015

Petak Hijau Keluarga



KELUARGA.

Keluarga adalah sesuatu yang tak tergantikan.
Keluarga adalah bagian dari hidup. 
Dan saya bersyukur memiliki mereka yang disebut KELUARGA.

Pada setuju kan ya, kalau dibilang keluarga itu adalah sesuatu yang tak ternilai harganya.
Ada yang tak sependapat? Semoga tidak.


Mereka yang sependapat mungkin memiliki keluarga yang "biasa-biasa" saja - seperti saya, berada pada kehidupan normal yang tak banyak drama, ibarat sinetron yang tak ada klimaksnya, semuanya baik-baik saja, menjadikan setiap episode adalah bagian penting yang tak boleh tertinggalkan. Dan saya bangga berada di keluarga "biasa" ini - bersama ayah, ibu, dan kakak.

Yah... awalnya, kalimat keluarga adalah segalanya menurut saya sudah paten dan tak terbantahkan. Ternyata tidak. Saya tahu semua itu setelah bertemu mereka di Petak Hijau.

Petak Hijau? Iya Petak Hijau, tempat saya menghabiskan waktu seperempat hari di setiap harinya, kecuali hari libur. Tak begitu penting itu di mana, tapi ketahuilah di sini unik-unik manusianya, pun keluarganya, tak biasa, seperti keluarga saya yang "biasa-biasa" saja.

Di Petak Hijau ini, saya yang "biasa", seolah baru melihat "alam bebas" (Tarzan kali -____-"). Mungkin karena sebelumnya saya hanya mengenal orang dari keluarga "biasa" dengan kehidupan normal mereka, jadi agak beda ketika melihat mereka yang "tak biasa" dengan kehidupan yang tidak normal menurut saya.    

Mulanya saya kira adegan-adegan "drama" dalam keluarga itu hanya ada di teve-teve. Namun saya sadar, itu salah setelah saya di sini. Saya bingung, sinetron yang menggambarkan kehidupan nyata atau kehidupan lah yang mencontoh dari sinetron. Ada banyak sekali "drama" yang Tuhan skenariokan di tempat ini. "Drama" yang dimainkan oleh manusia-manusia unik, menurut saya. Mengapa unik? Karena tak "biasa" seperti saya.

Saya di sini hanya penonton. Penonton yang berada satu frame dengan para aktor dan aktrisnya. Pelakonnya adalah para orang tua dan masing-masing anak mereka. Mereka mempunyai watak yang berbeda-beda.

Ada orang tua yang mengatasnamakan sayang namun terlalu berlebihan membela anaknya, salah atau pun benar.  Kebenaran hanya milik anaknya. Jika ada kesalahan, maka kesalahan itu milik anak lain, bukan anaknya, meskipun jelas-jelas anaknya bersalah. Contoh ketika anaknya berantem dengan anak lain, mesipun anaknya yang mulai, tapi sang orang tua tetap nyalahin anak orang. Lah yang jadi anak kan jadi enak-enakan karena merasa selalu dibela, sehingga ia pun merasa selalu benar. Menurut saya, ini bisa jadi bahaya kelak ketika anak tersebut tumbuh dewasa. Mungkin dari sini, tumbuh cikal-bakal manusia-manusia egois.   

Padahal, dulu ketika saya di usia anak itu, kalau ketahuan berantem, jangankan dibela, bukan saya yang mulai duluan pun tetap saya yang dimarahin. Makanya, dulu saya tak pernah berani mengadu kalau lagi berantem dengan teman, sampai ada yang luka pun berusaha ditutup-tutupi. Sempat berpikir orang tua saya tak adil, namun di usia sekarang saya mengerti. Bertengkarnya anak-anak? Ah biasalah… satu menit, dua menit sudah main bareng lagi… ckckck.

Ada lagi orang tua yang over protective sama anaknya. Meskipun saya tahu itu adalah bentuk kasih sayang tulusnya, tapi yang namanya “over” tetap berlebihan menurut saya. Kasihan anaknya yang tak bisa bebas ngapa-ngapain, tak bebas bermain atau berekperimen dengan lingkungannya, tidak boleh ikut kegiatan ini-itu, bolehnya hanya belajar (titik). Jadi anaknya pasti tertekan. Tambah lagi jika orang tuanya nuntut ini-itu, harus bisa ini, harus bisa itu, namun kemampuan anak terbatas, parahnya kalau sang cenderung tidak bisa apa-apa. Contoh orang tua menuntut supaya anaknya dapat ranking satu sedangkan anaknya menghitung aja masih pinjem jari teman. Nah loh!
    
Dulu – saya mau main di empang pun kalau sudah izin ke orang tua ya boleh-boleh saja. Intinya ya “izin”. Yah, meskipun memang banyak larangannya juga, itu biasalah orang tua, mereka lebih tahu mana yang baik atau buruk. Tapi kalau sampai menuntut yang tidak bisa dilakukan sang anak, apalagi sampai menghukum jika anak tak bisa mengabulkan keinginan orang tua, itu TERLALU.

Ada lagi orang tua yang masa bodoh sama anaknya. Anak yang seperti ini tumbuh sesuai dengan pengaruh lingkungannya. Syukur-syukur kalau orang di sekitarnya baik-baik, nah kalau bawa pengaruh negatif? BAHAYA.

Di Petak Hijau.
 
Di samping watak para keluarga di sini yang macam-macam, skenario-skenarionya pun juga luar biasa jika di"film"-kan.

Persis seperti reality show di teve-teve. Siang itu, seorang anak yang menjadi korban perceraian dari kedua orang tuanya, diperebutkan di tengah umum, sang ibu menarik tangan kanan anaknya, sedangkan ayahnya menarik tangan kiri anaknya. Bisa bayangkan bagaimana perasaan anak yang seragamnya masih putih-merah itu. Sedangkan di samping mereka ada sang adik yang menangis sejadi-jadinya walaupun ia mungkin tak begitu paham apa yang terjadi karena usianya baru beberapa tahun. Orang-orang di sekitar mereka, termasuk saya tak ada yang berani berbuat apa-apa, selain menonton dengan mata yang berkaca-kaca. Saya hampir tak habis pikir dengan kedua orang tuanya. Miris lihatnya, sampai air mata saya berat sekali dibendung. Saya bersyukur ditakdirkan bersama orang tua saya seperti sekarang.

Cerita lain tentang seorang anak yang juga korban perceraian orang tuanya yang memang berbeda agama. Lebih miris ceritanya ketika anak ini berkali-kali pindah agama. Menurut saya agama itu sakral, dan tak boleh dimain-mainkan. Tapi wajar sih, untuk anak seusianya yang belum paham apa-apa menuruti saja yang orang tuanya tetapkan. Tapi nyesek rasanya, ketika anak itu berkata pada saya bahwa besok kami tak lagi seagama. Mungkin bagi orang lain masalah simpel, tapi bagi saya masalahnya tak semudah itu. Yah, saya bisa apa? Berdo’a yah hanya berdo’a, semoga ia dengan sendirinya kelak menemukan jati dirinya yang terbaik.

Ada juga ia yang mempertaruhkan keluarganya untuk mencari kesenangan lain yang jelas-jelas akan mempertaruhkan keutuhan keluarga. Ada pula yang merintih menangis karena pengkhianatan ayah terhadap ibunya. Ah… lagi-lagi yang saya sedihkan adalah anaknya.

Ada juga cerita perjuangan seorang anak yang harus tetap bersekolah dengan keterbatasan ekonomi orang tuanya, padahal ia bersekolah di sekolah swasta, tentu biayanya lebih mahal. Namun semangat anak ini seolah benar-benar membayar jerih payah kedua tuanya. Saya berharap anak seperti ini kelak menjadi anak sukses yang berbakti.
Banyak lagi konflik keluarga yang memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi saya. Pengalaman hidup adalah guru berharga. Hidup mereka adalah pengalaman bagi saya. Semoga kalian pun dapat memetik pelajaran dari hidup mereka!

Dari Petak Hijau.

Lagi-lagi saya bersyukur dengan takdir Tuhan yang menempatkan saya pada keluarga seperti sekarang. Semoga kebahagian senantiasa menyertai kita di dunia hingga di akhirat kelak. Amin.

4 komentar:

  1. Menarik sekali postingannya. Kata Ayah Edy : Indonesia strong from home... Iya bener sekali Bund karakter orang dewasa salah satunya terbentuk dari pola dan pendididkan karakter di keluarganya :)

    Sedih banget liat anak2 yg bernasib demikian, korban broken home atau apalah. Semoga kita dihindarkan dari hal2 demikian :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin... setuju Indonesia strong from home, tapi iya sayang sekali kalau ada yang broken home...

      Hapus
  2. Keluarga lah yg menempa kt mnjadi dewasa...

    BalasHapus

Komentar kalian motivasi menulis saya. Terima kasih atas komentarnya :)