Sabtu, 12 Maret 2016

Saat Petir Menyambar

Hari ini semua siswa SMA Negeri Awan mendapatkan hasil belajar selama satu tahun, tentunya kecuali kelas dua belas. Sekarang aku kelas sebelas. Yupzz, hari ini kami terima raport . Awalnya deg-degan, aku takut kalau hasilnya akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya (Tak terbayang, jika pembagian raport  berdasarkan peringkat kelas, kasihan ayah harus selalu menunggu lama). Padahal kali ini aku benar-benar telah melakukan semaksimal mungkin apa yang aku bisa.

Hmmm… untungnya kali ini awan cerah berpihak padaku. Tak semua duka selamanya duka karena suka tiba pada waktunya. Aku sangat senang hari ini, selain aku akan duduk di kelas dua belas, nilai-nilaiku juga cukup memuaskan, tahun ini ada peningkatan. Jadi bisa mengubah kerut kening ayah yang selama ini aku dapatkan sehabis terima raport  (Aku bisa merasakan betapa bahagianya ayah saat itu).

Namun di samping itu aku bingung. Dua minggu libur sekolah ngapain coba. Biasanya ibu dan ayah mau aja di ajak liburan ke mana pun (Maklum anak tunggal). Tapi kali ini, bisnis baru ayah membuat rencana liburan jadi tidak terlaksana. Aku benar-benar bingung liburan kali ini mau ngapain. Ke rumah nenek, rumah tante Rita, ke tempat rekreasi, atau … ah bingung. Liburan di rumah??!(Bosen...)

Kring… kring…

“Kana angkat teleponnya nak!” Suruh ibuku.
“Haloooo, assalamu’alaikum  dengan Kana di sini dan siapa di sana?” Tanyaku  meniru nada seorang penyiar radio.
“Kana apa-apaan sih , untung ini aku Naufa, sempat orang lain gimana coba!” Jawab temanku, Nella, dengan ketus seolah tidak ingin diajak bercanda.

Emang anak satu itu terkenal dengan keseriusannya. Tapi ga juga sihbagi yang sudah benar-benar mengenalnya, ia malah orang yang take easy , terkesan masa bodoh dengan masalah-masalahnya.

“Wealah, jarang-jarang kamu nelepon aku”.
“Jangan gitu donk , aku mau ngajak kamu liburan ke rumah tanteku, mau ga ? Aku jamin deh  kamu ga bakal nyesal. Rumahnya di dekat pantai, ga   terlalu ramai. Jadi kita bebas mau ngapain juga. Dijamin asyik. Aku sudah ajak Nella, Ulan, dan Sisca. Mereka semua mau, kamu?” Jelas sekaligus tanya Naufa seolah tak ingin dipotong pembicaraannya.
“Yah, aku sih   mau-mau aja ikut. Tapi aku harus minta izin dulu sama orang tuaku!”
“Okeh deh   … ditunggu konfirmasi secepatnya ya anak mami!” Kata Naufa dan langsung menutup teleponnya.

Uhhf.. koq dibilang anak mami sih, wajarkan seorang anak minta izin dulu sebelum pergi. Aku bukan anak mami, tapi anak yang berbakti. (Ehh, apa iya!!)

Tanpa pikir panjang aku langsung menemui ibu dan ayahku, tentunya untuk minta izin. Kalau ayah sudah mengizinkan, ibu biasanya juga ikut ngizinin. Orang tuaku bukan tipe orang yang suka mengekang anaknya. Jelas saja aku boleh pergi ke mana pun asal tempat dan tujuannya jelas. Apa lagi perginya bersama sahabat-sahabatku, secara orang tua kami sudah saling mengenal.

Besok, pagi-pagi sekali Naufa dan lainnya akan menjemputku. Malam ini aku sibuk menyiapkan apa saja yang akan dibawa. Tapi sesibuk-sibuknya aku, lebih sibuk lagi Bi Imna. Ia yang membantuku menyiapkan segala sesuatu untuk besok. Sudah seharusnya aku berterima kasih padanya.

* * * * *

Sang surya kembali bersinar, meski tak ada kokokan ayam, ku tahu ini sudah pagi. Tak lama setelah aku bersiap terdengar suara klakson, pasti Naufa dan teman-teman lainnya. Aku bergegas keluar…

Di perjalanan…

Padahal tadi malam sudah ku periksa dengan teliti barang-barang yang akan dibawa. Tapi tetap saja, baru ingat, boneka tweety kesayanganku ketinggalan. Aku sulit tidur tanpanya. Ini pengalaman buruk pertamaku di liburan kali ini (Tentu aku tak berharap kejadian buruk berikutnya).

Namun semua bayangan buruk itu seakan kandas ketika aku melihat pemandangan yang begitu indah. Wajar saja, biasanya aku selalu tertidur jika melakukan perjalanan panjang seperti ini. Tapi kali ini mataku beneran betah melek (Kapan lagi coba liburan with my best friend). Benar kata Naufa aku ga bakal nyesal menghabiskan liburan bersamanya.

Apalagi ketika sudah sampai ke tujuan. Suasana sepi, sunyi, desiran ombak di tepi pantai, angin yang berhembus damai, serta panorama sunset saat itu (Subhanallah....indahnya ciptaan-Mu, Tuhan). Sejujurnya aku tak mengenal daerah ini, daerah terpencil tapi sungguh menakjubkan.

* * * * *


Matahari berganti tugas dengan bulan...

Suasana saat itu persis seperti ketika kami tidur di wisma sekolah waktu ada pelatihan kepemimpinan satu tahun yang lalu. Aku merasa jadi anak asrama, rame-reme dalam satu kamar. Yah, Rumah tantenya Naufa tidak terlalu besar. Emang di daerah sini, rumah-rumahnya kebanyakan minimalis dan natural (berasa nyatu dengan alam).

“Wah...asik ya!” kata Ulan singkat seraya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Tentu saja asik, ini pertama kali kita liburan bareng!” Sambung Sisca yang masih sibuk memindahkan pakaian ke dalam lemari.
“Eh, jadi barbekiuuuuuan kan?” Tanyaku.
“Gimana mau manggang dagingnya, angin sekencang ini, langit juga berawan!” Jawab Nella yang kelihatannya telah pesimis bisa bersenang-senang malam ini (hhmmm...pengalaman buruk kedua).

Aku tahu cuaca malam ini tidak mendukung. Memang sepertinya akan turun hujan yang lebat. Aku sengaja nanya cuma untuk memastikan apakah malam ini makan daging atau tidak. Dan jika memang tidak jadi, setidaknya ada solusi melakukan kegiatan alternatif lain.

Di sudut lain aku memperhatikan Naufa yang duduk menyendiri bersender di tepi jendela. Tak mungkin ia sedang menikmati bintang malam, karena saat itu tak ada satupun bintang yang hadir bekerja. Bisa kutebak, ia merasa tak enak hati dengan kami. Ia yang merencanakan liburan ini, tapi sayang tak sesuai dengan alur yang telah disusunnya. Namun tak seharusnya ia seperti itu, toh ini bukan salahnya. Manusia bisa saja berencana jika Tuhan berkata tidak bagaimana bisa kita mengiyakannya. Sekarang aku harus menguasai suasana. Aku harus mengubah wajah layu mereka supaya berkembang lagi. Membuat pesta kecil di dalam rumah.

Belum lagi ku apresiasikan kreatifku, listrik tiba-tiba mati. Ditambah lagi hujan yang yang benar-benar turun dengan derasnya dan petir yang seolah sahut menyahut mengadu kekuatannya. Sahabat-sahabatku yang tadi layu pun kini benar-benar mati. Mereka memilih untuk bermalam di atas tempat tidur, yah kami semua tertidur, begitupun tantenya Naufa yang menemani kami liburan kali ini. Padahal kami hanya diberi waktu tiga hari menghabiskan liburan di sini, sehari dalam perjalanan ke sini, sehari di sini, dan besok sore kami harus kembali.

Malam ini terasa begitu panjang bagiku. Mataku tak mampu terpejam, INSOMNIA, jarang-jarang aku begini. Entah jam berapa, tiba-tiba ponselku bergetar. Di layar hapeku tertulis “Om Dimas memanggil...”. Yupz, Om Dimas, suami tante Rita menelponku.

“Hallo, iya Om Dimas, ada apa?!” kataku langsung tanpa basa basi dengan suara setengah berbisik, aku khawatir akan membangunkan temanku yang terlelap tidur.
“Cuma mau ngasih alamat baru kami di Semarang, kalau-kalau kamu mau main ke sini!”
“Eh iya Om, mau, di mana?!”
“Catat ya alamatnya di Jalan........” (Om Dimas tahu kalo aku pelupa makanya disuruh catat..hehe...).

Di suasana gelap aku paksakan diri untuk mencari alat tulis. Pucuk dicinta ulampun tiba, belum lagi mencari kutemukan catatan kecil di atas meja samping tempat tidur. Buku tipis berukuran delapan kali lima senti. Saking besarnya tulisanku, beberapa halaman habis hanya untuk mencatat alamat itu.

Baru membaringkan pena, tiba-tiba....duooooooooooooooor..... Ponselku tiba-tiba mati, tapi sudahlah toh alamatnya sudah kucatat. Petir itu benar-benar mengejutkanku. Sahabat-sahabatku sempat terbangun kecuali Sisca (si ratu tidur, salut gimanapun sikonnya bisa terlelap tidur) namun kemudian mereka tidur lagi. Dan akupun ikutan tidur dibuatnya.

* * * * *

Pagi-pagi sekali, cuaca masih seperti tadi malam.

Duoor...duor....duorrrrrrrrrrrrrrr, duoooooooorrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr......

Seperti suara tembak menembak di medan perang, dan diakhiri dengan tembakan dahsyat serta disambung lekingan Naufa yang tak kalah dahsyatnya.

Aku dan teman-teman, termasuk Sisca yang saat itu masih tidur pun serentak terbangun. Jiwa yang masih berkelana dipaksa kembali masuk dalam raga secepat mungkin hingga kami terjaga. Tante Naufa pun bergegas menuju kamar kami.

“Siapa, siapa yang mencoret minibook-ku?!” Tanya Naufa dengan lantang.

Ku pikir mungkin jiwaku belum menemukan posisi yang pas dalam tubuh ini. Maklum masuknya saja dipaksa, padahal ia sedang berpetualang dalam mimpi. Kami masih terdiam, belum mengerti situasi apa ini.

Naufa mempertegas pertanyaannya. Akupun masih tak mengerti. Namun ketika ia menghentakkan meja, kali ini aku benar-benar tercengang. Tak pernah ku lihat Naufa semarah itu. Jantungku berdebar kencang seolah dipaksa terjun dari gedung lantai sembilan. Jiwaku pun enggan bermain-main, dan segera memposisikan tepat di ragaku. Dan itu pula yang mungkin dirasakan ketiga sahabatku yang lain.

Ku baru benar-benar mengerti ketika buku itu tepat berada sejengkal dihadapan wajahku. Rasa kantuk pun enggan tuk singgah kembali. Tercengang, terbelalak, entah kata apa lagi yang bisa ku ungkapkan untuk menggambarkan perasaanku saat itu. Benar-benar mati rasanya, jantungku mengriput, darah terhenti mengalir, dan nadipun tak berdenyut lagi, tinggallah kepalaku yang bergetar akibat kinerja otak yang berlebihan memikirkan apa yang harus kulakukan.....

Saat Naufa mengulang pertanyaannya, “Ayoo ngaku siapa?!”

“Yah....a...a....aku Fa, Kananta”. Jawabku hanya dalam hati. Aku belum berani mengakui yang sebenarnya. Aku takut, aku tak bisa bayangkan apa yang terjadi nanti.

“Aku terlalu bodoh, ceroboh, sahabat seperti apa aku ini?! Aku telah mencoret buku catatan kesayanganmu. Padahal aku tahu, itu kenangan terakhir dari ayahmu!”

Meski hidup Naufa lebih mewah daripada aku, tapi aku jauh lebih beruntung darinya. Saat usia enam tahun ia telah ditinggal oleh ayahnya. Ibunya pun meninggalkannya tepat setelah ia dilahirkan. Entah ia tahu bagaimana rupa ibunya atau tidak (aku enggan menanyakannya).

Buku kecil itu hadiah yang diberi oleh ayahnya karena Naufa telah pintar menulis. Naufa pernah cerita tentang kedekatan ia dengan ayahnya, betapa ia menyayangi ayahnya, dan betapa hancurnya ia ketika ditinggal oleh ayahnya. Beberapa kali Naufa cerita tentang itu, sebanyak itu pula aku menangis mendengarnya. Saat itu banyak yang bilang ia terlalu kecil untuk mengerti arti kehilangan, tapi tahukah bahwa saat itu ia benar-benar mengerti kepergian ayahnya untuk selama-lamanya dan mengerti ia akan hidup sendiri.

Untungnya ia berasal dari keluarga berada, jadi tak perlu khawatir soal bagaimana ia hidup nantinya. Ia tak perlu mondar-mandir mencari makan atau mengamen untuk dapatkan uang. Selain itu ia dikaruniai hidup dalam keluarga besar yang baik dan peduli dengannya (Tapi tetap saja tak lebih membahagiakan daripada memiliki keluaga yang utuh, menurutku!). Mulai saat itulah ia dirawat oleh tantenya.

Sekarang aku telah merusak kenangan indah miliknya. Dan aku tak berani mengakuinya. Yah sekarangpun aku tahu apa arti petir tadi malam. Bahkan kilatan itu telah memberi peringatan untuk tak mencoret buku itu. Tapi toh semua telah terjadi.

Sebelum ada yang ngaku selama itu pula suasana tegang. Tak tahan juga menyimpan kesalahan lama-ama. Lagian tak enak juga dengan Nella, Ulan, dan Sisca yang ikut-ikutan jadi sasaran. Yah mau tak mau, akhirnya aku ngaku juga.

Dan....... di luar dugaan. Ku kira ini akan jadi kiamat untukku, tapi tidak. Meski air matanya tak berhenti mengalir, Naufa tiba-tiba duduk di antara kami. Kami yang tadinya memang diam kali ini benar-benar tak tahu mau berbuat apa, terlebih lagi aku. Bahkan saat ia memelukku dan berkata, “Kan, maafkan aku!” Tentu aku bungkam seribu bahasa. Sebenarnya aku bingung dengan sikapnya tapi tak apalah, malah itu bagus bukan!! Aku membalas dekapannya, dan jujur air mataku yang ku kira telah beku kini benar-benar mengalir tak tertahan.

Persahabatan bahkan lebih berharga dari pada benda berharga apa pun. Engkaulah sahabat yang membuatku bertahan, meski kau sering kali membuatku menangis. Tapi kau pulalah yang akhirnya menghapus tangisanku dan merubahnya menjadi senyum ceria. Sahabat, engkau pelangi hidupku. Memberi warna dalam kisahku. Biarkan aku memilikimu, tuk ukir cerita di hari-hariku”.

“Sob, kalian lebih berharga, apalagi hanya dibandingkan dengan buku kecil ini. Ayah mungkin sangat sedih, jika karena buku ini membuat kita terpisah. Dan ayah pasti lebih bahagia jika kita tetap bersama. Kan maaf ya, tadi aku emosi, aku salut dengan kejujuranmu!”

Otakku yang rongsok kembali diajak berpikir. Aku tak paham situasi ini. Jika sahabat-sahabatku yang lain mengambil hikmah bahwa jujur itu lebih baik. Tapi  satu pelajaran yang kudapatkan dari masalah ini bahwa ternyata sifat manusia itu benar-benar ANEH...

Alhamdulillah, genderang petir-petir itu bukan pertanda buruk bagi persahabatan kami.

* * * * *

Sebelumnya aku sempat trauma jika ada petir, tapi untungnya itu tak lama. Buktinya hari ini meski hujan disertai petir aku tetap pergi ke sekolah (inget puisi zaman-zaman esdee dulu ... "Walaupun hujan aku tetap pergi ke sekolah”...hehe...). Yah... liburan telah usai. hari ini hari pertama masuk sekolah.

Aku sangat senang, karena hari ini aku akan bertemu sahabat dan teman-teman sekelasku lagi, cerita-cerita, bercanda, dan seru-seruan lagi. Tapi wajah riangku berubah datar, baru saja masuk kelas, aku disambut tatapan tajam keempat sahabatku. Aku yang tak merasa bersalah tentu menegur mereka seperti biasa. Namun mereka malah tak menghiraukan aku. Ada apa ini??! Mungkinkah ini kelanjutan maslah di liburan kemarin?!

Pelajaran pertama di tahun ajaran baru, aku hanya diam dan sok khusyuk memperhatikan pelajaran. Tiba-tiba guru yang menyadari lamunanku menghentakkan panggaris tepat di mejaku. Aku tersentak, bukan karena guru itu, tapi lihatlah di sudut kiri papan tulis itu, tertulis 22 Juni 2010. Kemarin tanggal 21, tepat tiga tahun usia persahabatan kami. Aku benar-benar lupa. Mungkinkah....??! Oh Tuhan... apa lagi yang harus aku lakukan??!




Cerita fiksi di atas dibuat beberapa tahun yang lalu, disimpan di draf pada tanggal 01-11-2010 pukul 17.31, pas nemu tulisan ini berasa flash back ke masa putih abu-abu, yah cerita ini dibuat zaman-zaman SMA, zaman lagi suka-sukanya nulis cerpen. Tadinya mau diganti judulnya jadi satu kata PETIR, tapi takut disangka Dee Lestari. Nanti ditanya-tanya tentang latar belakang novel Supernova, lah kan bingung jadinya. Ya udah pake judul sesuai di draf aja. Dibuang sayang ....






Sumber gambar : google

13 komentar:

  1. Oooh, saya kira dirimu yang anak SMA di atas :)
    Bagus diasah nih kemampuan nulisnya :)

    BalasHapus
  2. temukan saya, saat petir menyambar...
    di bawah selimut, di bawah tumpukan bantal.
    Ngorok.

    "Persahabatan bahkan lebih berharga dari pada benda berharga apa pun"
    harusnya sih begitu. Tapi faktanya, ada beberapa orang yang tidak menganggap sahabat sebagai sesuatu yang berarti. Mungkin hanya dianggapnya sebagai seonggok sampah.

    *loh curhat..
    *baru kehilangan kepercayaan tentang arti sahabat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. sahabat sejati selalu menganggap kita berharga kok, kalo nggak berarti bukan sahabat #eh

      Hapus
  3. Zaman SMA dah bisa nulis cerita begini.. Hebat

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum dik Kautsar ... lama gak berkunjung, kangen.
    iya kangen dengan tuisannya yg sarat inspirasi.

    Kemampuan menulis yang bagus ini semakin mantab saja.

    SAHABAT akan mencari dan dicari. Jika sudah "klop" serasa bagian dari hidup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walaikumsalam, iya kak makasi atas kunjungannya,
      blog kk salah satu inspirasinya :)

      Hapus
  5. Balasan
    1. Lapor/ laporan hasil belajar selama 1 semester ...

      Hapus
  6. Jaman SMA ane udah ngeblog juga gan, cuma ya gitu nulisnya dikit + seadanya. ( walaupun sekarang iya sih ) Hehehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama seadanya, dulu tulisan saya singkat, padat, dan tidak berisi. Dan kebanyakan curhat nggak penting... wkwkwk...

      Hapus
  7. Wew, tahun 2010 masih ada juga ya boneka Tweety, tak kira sudah kalah populer ma boboboy dan Upin - Ipin :D Itu karangan jaman SMA kan, berarti karangan sekarang lebih bagus lagi tentunya :) Harusnya diganti KILAT juga gpp biar gak nyamain PETIRNYA Dewi Lestari hehe.

    Oke, salam blogger dan saling berkunjung :)

    BalasHapus

Komentar kalian motivasi menulis saya. Terima kasih atas komentarnya :)