Sabtu, 12 September 2015

Tersandung dalam Angan

Beberapa minggu yang lalu aku begitu bersemangat merangkai kata membentuk sajak yang ku nilai indah. Entah mukjizat apa yang Tuhan berikan saat itu, tanganku seolah tak henti-hentinya membentuk goresan berkonotasi dan bergaya bahasa serta syarat makna. Huruf terangkai menjadi kata, kata terangkai menjadi kalimat, dan sajakku terdiri dari beberapa kalimat. Aku berhenti di baris ketiga belas, sudah cukup bagiku, singkat tapi padat.

Aku pernah membaca sebuah tips dari seorang penulis terkenal, "Jika kamu ingin mencari kelemahan atau kekurangan tulisanmu, endapkanlah dulu karyamu, minimal beberapa minggu dan kemudian bacalah kembali, di saat itulah jika memang ada, kamu akan temui kesalahan baik diksi maupun
ejaannya, maka segeralah memperbaikinya", yah begitulah kira-kira intinya. Katanya sih supaya pikiran lebih fresh sehingga dapat mengintrospeksi kesalahan dan terciptalah tulisan yang sempurna.
Ku lirik kembali lembar sajakku, tergeletak di meja kayu yang hampir rapuh. Namun ku yakin tak kan gugur meja itu karena selembar sajak karyaku. Meja yang berukuran tak sampai setengah meter tingginya. Meja itulah yang sering menemani perjuanganku menciptakan lantunan karya-karya bergaya bahasa. Meja itu menunjukkan kesederhanaanku. Dan menggambarkan kepribadianku, aku rapuh namun ku berusaha tetap tegak tegap meraih anganku.

Beberapa kali ku membaca sajak itu, tak ada yang kurang. Bahkan nyaris sempurna. Tak perlu menunggu lama, aku yakin atas kualitas karyaku. Tak perlu diendapkan sampai berminggu-minggu karena memang juga tak ada waktu lagi.

Ku pandangi kembali kertas di sudut meja, bewarna hijau bertuliskan "Lomba Cipta Puisi". Yah, itu adalah sebuah brosur yang membuatku bersemangat menciptakan sebuah maha karya. Tapi aku lebih bersemangat melihat tabel-tabel rincian hadiah pemenang, juara satu mendapatkan uang tunai satu juta rupiah. Mungkin bagimu itu tak seberapa, tapi bagiku itu sungguh luar biasa. Dengan satu juta aku bisa melakukan apa saja, dan aku yakin aku pasti bisa mendapatkannya.

Dengan uang itu aku tak lagi harus menyusahkan ayah dan ibu, dengan uang itu kakak tak perlu lagi mengalah saat membeli buku pelajaran wajib di sekolah. Dengan uang satu juta, empat ratus ribu untuk pendaftaran ulang tahun ajaran sekolah berikutnya, tiga ratus ribu untuk membeli buku-buku serta alat-alat tulis lainnya, seratus ribu akan ku gunakan untuk shopping, atau sekedar makan di sebuah restoran atau kafe di mall, sudah lama aku menginginkannya. Dengan uang seratus ribu setidaknya mungkin ku bisa duduk di salah satu kursi yang ada. Sebelumnya aku akan meminjam hape kamera milik teman sebangkuku. Aku akan berfoto di restoran itu, setidaknya ada bukti kalau aku juga pernah makan di tempat kalangan elit seperti itu. Masih ada sisa dua ratus ribu lagi, uang itu mungkin akan ku tabung saja, mana tahu kapan-kapan ada keperluan mendadak.

Beralih kembali pandanganku ke lembar sajakku, aku tersenyum betapa berbakatnya aku. Ku masukkan lembaran itu ke sebuah amplop yang telah ku sediakan, ku lengkapi syarat-syarat lombanya, ku tulis alamat yang dituju, dan besok aku akan mengirimnya.

* * *

Beberapa hari kemudian…

Besok, semua peserta yang lulus seleksi pertama akan diundang, dan aku salah satunya. Sudah kubayangkan, aku duduk di bangku terdepan, namaku akan dipanggil ke podium, jika ini adalah pertandingan SEA Games aku akan berdiri di atas angka satu, sebuah medali emas menggantung melingkari leherku, semua penonton bertepuk tangan, dan akulah bintang baru saat itu. Malam sebelum pengumuman juara lomba, aku bersiap-siap untuk hari esok. Ku susun selembar tulisan lagi, bukan sajak, namun ucapan terima kasih-terima kasih yang akan ku sampai pada kata sambutan besok. Layaknya di sebuah perlombaan, tidak jarang jika juara pertama akan dipersilahkan untuk memberikan beberapa kata yang ingin disampaikan, termasuk ucapan-ucapan terima kasih. Sempurna… aku tak sabar menanti hari esok…

* * *

Hari ini, hari yang sangat ku nanti. Tadi malam ku sudah memimpikan hari ini. Hari ini bagai dejavu. Tadi malam rupiah itu sudah berada di tanganku. Itu petunjuk Tuhan kalau aku akan menang. Aku hanya harus bersabar. Hari ini tentu semua akan jadi nyata.
* * *

Panggung mewah di telah di depan mata. Sudah ku duga, suasana seperti ini persis dengan apa yang ada dalam mimpiku. Para hadirin yang duduk rapi di kursi yang disediakan, para finalis duduk di bangku depan, bapak-bapak berdasi dan ibu-ibu dengan gaya anggunnya duduk berlawanan arah dengan kami, merekalah juri dan panitia-panitia penyelenggara.
Waktu seolah semakin memperlambat gerakannya, bahakan jarum jam tak beranjak maju bagiku. Berantonim dengan jiwa dan semangatku yang menggebu-gebu, bersiap menerima piala kemenangan. Alangkah senangnya aku, dan alangkah bangganya kedua orang tuaku.

Entah kecewa, marah, sedih, atau apa yang kurasakan. Ternyata aku tak lebih dari seekor katak di dalam tempurung. Aku menyanyi merdu, ku sangka suarakulah yang terindah, tapi aku jauh dari kata diva. Aku buta terhadap dunia atau dunia yang malah membutakan aku.
Di atas langit ada langit. Orang bilang langit bertingkat tujuh, kalaulah benar di tingkat manakah aku??! Mungkinkah aku hanya berada di langit yang sejenggal jaraknya dari kepalaku?
Aku hanya terdiam, bahkan air mataku tak sanggup mengalir, percikannya pun tak ada. Jantungku berdebar kencang, nafasku seolah berhenti. Diam, mematung, itulah aku saat itu...

Sajakku melayang, satu juta tinggallah angan. Namaku tak terdaftar sebagai pemenang. Aku dengan percaya diri yang berlebihan, ternyata aku hanyalah pecundang. Aku merasa lebih tapi tak ada yang bisa ku lebihkan. Aku kalah...aku kalah, teman!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kalian motivasi menulis saya. Terima kasih atas komentarnya :)