Kamis, 21 Januari 2016

Lambaian Tangan Penyapu Sepi


Entah sudah berapa lama aku terbiasa duduk menghabiskan waktu di bawah pohon tua itu. Tak ada yang istimewa dengan pohon tua itu. Batangnya memang tinggi menjulang, daunnya lebat, namun rapuh, gagahnya hilang seiring bertambah usia, mungkin tak lama lagi ia akan ditebang, dibunuh oleh orang yang juga menanamnya, atau mungkin ia akan mati kemudian hilang dengan sendirinya.

Di bawah pohon tua itu. Seolah ada magnet yang selalu menarikku ke sini. Padahal tak ada pemandangan yang cukup indah di sekitarnya, hanya aliran sungai berdesir mengalir. Yah, pohon itu memang di tepi sungai dan aku sering kali menatap kosong sungai yang tak begitu jernih itu. Berharap aliran yang tak cukup deras itu menyapu sepiku yang teramat deras.

Dia.

Dia mengatakan bahwa aku pintar, aku memang juara kelas, tapi aku tak pernah bangga dengan hal itu, biasa saja. Dia mengatakan bahwa aku orang kaya, nyatanya aku memang tak pernah kekurangan, apapun yang ku inginkan sejauh ini bisa dibelikan, tapi tidak untuk membeli kebahagian, apalagi membeli pengusir kesepian. Dia mengatakan aku orang yang beruntung, tapi aku tak merasa terlalu untung, mungkin karena ku lemah dalam bersyukur.

Aku dilahirkan di tengah keluarga yang "serba ada". Keluarga yang mengukur kebahagiaan dengan skala materi. Keluarga yang menganggap dengan uang semua bisa teratasi. Ku kira cerita ini hanya ada di televisi, ternyata tidak, nyata ini ada dalam hidupku. 

Ibuku seorang dokter di salah satu rumah sakit terkenal di kota kami. Ia dokter spesialis paru-paru. Sebelum jam tujuh pagi, ia sudah berangkat, karena memang butuh lebih dari satu jam untuk ke sana. Tak seharian ia di sana. Sekitar jam tiga ia sudah pulang ke rumah. Namun tak lama, hanya mengganti pakaiannya yang resmi menjadi tak resmi. Selanjutnya ia berangkat lagi ke kliniknya. Ibuku bekerja sama dengan sebuah klinik kesehatan, dari sinilah pundi-pundi uang benar-benar menyilaukan matanya, hingga ku rasa ia lupa keberadaanku. Mengapa Tuhan harus menciptakan penyakit sehingga menjarakkan aku dengan ibuku?  

Ayah. Siapa ayah? aku tak pernah mengenal sosok ayahku. Putih atau hitamkah kulitnya, mancung ataukah pesek hidungnya, aku tak pernah tahu. Ibu tak pernah menceritakan apa pun tentang ayah, aku pun tak pernah berani bertanya di mana ayah. Ia sudah lama hilang. Yah, hilang, seperti benda yang hilang dan tak perlu dicari ketika lelah mencari. Namun sekarang aku sangat ingin menemuinya yang entah di mana keberadaannya karena aku merasa sepi.

Di bawah pohon tua itu. Aku menikmati semilir angin sepoi yang tenang melambai-lambaikan rambutku yang sebahu. Ku lihat ke arah sungai mengalir, sesekali ada ikan-ikan kecil timbul ke permukaan. Ingin rasanya menjadi bagian dari gerombolan ikan itu, selalu bersama, tidak sendiri.

* * *

Sudah hampir tiga minggu aku tak sekolah. Sejak saat itu, yah... saat itu. Saat itu pikiranku memang sedang tak menentu. Aku diajak seseorang untuk bergabung dengan kelompoknya. Kelompok yang tak berpendidikan. Kelompok yang suka beroperasi di pasar. Kelompok orang-orang brutal. Tanpa pikir panjang aku bergabung bersama mereka. Mereka tahu aku anak orang kaya.

Di suatu lorong antara bangunan-bangunan yang tinggi menjulang. Jika hari sudah sore terdengar burung-burung yang seolah-olah juga bersangkar di sana. Meja-meja serta kursi-kursi yang tak beraturan menghiasi gang sempit itu. Abu-abu rokok di atas meja tanpa asbak. Botol-botol tanpa merek tersebar di setiap sudut. Itulah tempat kami berkumpul. Merencanakan apa yang harus kami lakukan besok. Rencana yang dapat merugikan orang lain, untuk mendapatkan uang katanya. Tapi akhirnya uang itu juga digunakan untuk hal yang tidak jelas. Mencuri, bisnis bagi mereka. Sering aku ikut dalam bisnis ini. Jujur, sebenarnya aku tak mau melakukannya. Karena aku tahu itu tidak baik. Namun rasa setia kawan membuatku mau tak mau melakukan perbuatan haram itu.

Pernah juga orang-orang itu mengajakku minum-minuman. Namun sebesar apapun masalah yang ku hadapi, aku tak kan pernah menyentuh minuman itu. Jangankan rasanya baunya pun aku tak suka. Mereka tak berani memaksaku karena aku cukup keras. Semakin dikeraskan, hatiku pun bertambah keras.

Pernah sekali mereka memaksaku secara halus untuk mengisap rokok. Hampir saja aku menyentuh barang yang akan menguras kantungku itu. Tapi untung ada dia, seorang laki-laki yang terlihat tak lagi remaja itu menepis rokok yang hampir ku dihisap.

"Merokok itu tidak baik!" Ujarnya. Aku hanya diam. Aku memang pendiam saat itu. Namun ku coba mengambil rokok lain. Pemuda itu selalu menepisnya.

"Jika kau tahu rokok itu tidak baik, mengapa kau merokok?" Kataku dengan nada yang cukup keras. Pemuda itu hanya tersenyum. la terlihat sedang menyusun kalimat hingga memberi alasan yang jelas yang dapat dimengerti oleh remaja sepertiku.

"Ya, dulu aku juga seperti kamu. Saat itu aku punya masalah. Mereka seperti pahlawan bagiku. Saat aku tak tahu ingin cerita pada siapa, mereka datang memberikan ketenangan melalui obat-obatan seperti permen itu. Tapi akhirnya aku sadar mereka musang berbulu domba. Sekarang aku sangat tergantung pada mereka. Aku tak bisa lepas dari ancaman mereka. Sekarang aku tak lebih seperti babu."

Aku tertegun mendengar cerita pemuda itu. Aku berharap hidupku tak seburuk pemuda yang satu-satunya masih berpenampilan bersih di situ. Ia menasihatiku bak kakak menasihati adiknya. Meski ku tahu itu yang terbaik untukku tapi aku tetap bersikeras untuk tetap tinggal sementara di sana. Untuk mengusir kejenuhan di rumah, pikirku. Namun nyata sekarang itu malah merugikanku. Teman makan teman atau lebih tepat lagi pura-pura berteman. Aku dimanfaatkan karena aku orang kaya.

Belum selesai masalahku di rumah, aku harus berhadapan dengan musang-musang berbulu domba. Aku tak bisa lepas dari mereka. Beberapa kali aku mencoba kabur namun tetap tak bisa. 

Suasana malam yang hening dengan hujan rintik, teman-temanku atau lebih tepat dikatakan musuhnya sedang tertidur. Kesempatan ini tak ku lewatkan. Malam itu juga tanpa rencana sebelumnya, aku mengendap keluar dari ruangan yang sebenarnya tak beruang itu. Seperti kebiasaan di film-film tak sengaja aku menendang sebuah kaleng. Namun tak sama persis seperti di film, penjahat-penjahat itu tak mengira itu kucing. Mereka sangat ketat menjagaku. Ada suara sedikit saja mereka akan terbangun melihat aku masih ada atau tidak. Tak salah jika rencanaku gagal.

Tapi semua tak gagal total ketika pemuda membantuku untuk kabur. Berhasil, tapi naas dia dipukuli dan dilempar begitu saja bahkan diusir, tidak boleh kembali jika tak membawaku. Kesempatan ini tentu tidak dilewatkan olehnya. Memang itulah hari yang ia tunggu. Hari dimana ia bisa bebas dari manusia-manusia yang tak berakhlak itu. Sejak itu aku tak tahu-menahu keberadaannya, namanya pun aku lupa tanya.


* * *

Sejak saat itu aku mulai menyendiri. Sendiri di bawah pohon tua. Ingin rasanya mengeluarkan isi hati tapi entah ke siapa. Ibu? Tak mungkin. Kami bertemu tak lebih dari sepuluh menit. Itu pun dalam keadaan ia sibuk bersiap-siap ke rumah sakit dan aku bergegas ke sekolah. 

Namun Tuhan tak membuatku putus asa, ia mengirim kamu untuk menghapus rasa sepi ini. Rasa yang membuatku nyaris lupa siapa aku. Aku yang sebenarnya hanya ingin hidup normal di keluarga yang normal. Yah, aku hanya merindukan keluargaku, aku hanya butuh ayah yang selalu siap menjagaku, aku hanya butuh ibu yang selalu mengasihiku. Karena ku bosan dengan teman-teman yang selalu meledekku karena aku seperti tak punya ibu. Aku tak meminta lebih, aku hanya ingin ibu seperti sebelum ia sesibuk sekarang ini. Biarlah kami hidup sederhana namun penuh kebersamaan. 

Sejak aku mengenalmu, aku merasakan perubahan yang luar biasa. Aku tak lagi kosong. Pandanganku tak lagi maya. Pertemuan kita adalah skenario indah dari Tuhan, kamu tiba-tiba menghampiriku di bawah pohon tua itu. Kamu mengajakku bicara seolah sudah sangat mengenalku, sedangkan aku merasa tak sama sekali tahu siapa kamu.

"Aku tinggal di ujung jalan, memang cukup jauh, tapi masih searah dengan rumahmu". Katamu.

"Rumahku? Kamu tahu rumahku?"

"Cleo, Cleopatra si pelukis cilik, dulunya. Siapa yang tak kenal?"

"....?"

"Aku Miko," katamu sembari mengulurkan tanganmu.

"Yah... aku Cleo, tapi dari mana kamu tahu?"

"Apa yang kau sukai dengan sungai ini sampai kau habiskan waktumu di sini? Kau pun rela korbankan sekolahmu untuk tempat ini?" Katamu tanpa menghiraukan pertanyaanku.

"Kamu?"

"Tak berguna berdiam diri untuk sekedar menghapus sepimu. Aku tahu rindumu pada ayahmu. Aku pun tau sebenarnya kau mengharapkan ibumu yang seperti dulu. Tapi jauh lebih beruntung dari pada aku. Dulu kau sangat ceria, tak sangka begini jadinya. Ternyata kau lemah!"

"Hah?"

"Iya kau terlalu lemah! Bahkan kau lupa Tuhanmu. Bukan ke sungai tempatmu berkeluh kesah, bukan pula pada pohon tua ini. Tak ingatkah kau punya Sang Maha Mendengar, tak pernahkah kau memohon untuk membuatmu lebih kuat".

Begitulah kamu. Selisih usia kita tak begitu jauh, kita malah terlihat sebaya. Tapi pemikiranmu jauh lebih bijaksana. Kamu seperti orang dewasa dalam menjalani hidup. Jika ayahku ada, mungkin juga sebijaksana kamu, tapi sayang.... ah sudahlah.

Tak kusadari lama sekali wajahku tak dibasahi air wudhu. Aku sudah lama sekali tak menghampiri Tuhanku. Meminta pada-Nya, atau sekadar bercerita tentang masalahku. Padahal sejak usiaku tujuh tahun, aku sudah janji ke ibu tak 'kan lupa 5 waktu yang menjadi kewajiban agamaku. Tapi ibu melupakan aku, bagaimana bisa ku ingat lagi janjiku ke ibu.

Alur yang dirancang Tuhan luar biasa. Ia memperkenalkan kamu padaku. Kamu membuatku lupa ikan-ikan kecil di sungai karena fokusku tak lagi mereka. Sejak awal pertemuan yang aneh menurutku, aku seperti hidup kembali. Tak ku hiraukan lagi ibuku, mau ia pulang atau tidak, mau ia sudah makan atau belum, aku tak peduli. Meski kamu terus menyuruhku untuk selalu taat pada syurgaku itu. Akhirnya yang ku bisa lakukan adalah do'a, berdo'a supaya ibu sadar keberadaanku.

Kami sering melukis bersama. Aku memang suka sekali melukis. Dari sekolah dasar aku sering ikut berbagai lomba melukis. Terakhir di kelas dua SMP.

Hari itu, kamu mempertemukan kembali aku dengan kuas dan palet yang sudah betahun-tahun kami pernah berteman. Lukisanku menakjubkan, katamu. Dalam hati sebenarnya aku mengiyakan, indah memang, anugrah luar biasa dari Tuhan.

Diam-diam kamu mengirimkan lukisanku ke pameran lukisan di Taman Budaya kota kita. Aku diundang ke sana sebagai pelukis muda. Sesekali ada beberapa anak berseragam sekolah mendatangiku, mewawancaraiku, dan ada yang meminta foto bersamaku, mungkin tugas dari sekolah mereka. Tak sadarkah mereka aku pun juga siswa seperti mereka. Aku barulah kelas dua SMA. Tahukah kamu? seketika, aku rindu sekolah.

Seharian aku di Taman Budaya, tanpamu. Banyak hal yang kamu ajarkan padaku. Kini aku sadar, tak seharusnya aku menyendiri, dengan berbagi kita dapat menemukan solusi. Dan tak patutlah kita merasa sendiri, karena ada Tuhan yang siap kapan pun menemani.

Hari ini menakjubkan. Memang melelahkan, tapi aku senang.

* * *

Hari berganti hari. Hari ini adalah hari baru bagiku. Kita berjanji bertemu di bawah pohon tua itu pukul tiga sore, sepulang sekolah. Aku sudah mulai sekolah lagi sekarang. Namun entah kenapa, kini matahari hampir tenggelam kamu belum juga datang.

Ku coba menyinggahi kamu di rumahmu, kamu pernah bilang rumahmu di ujung jalan. Tapi apa yang ku temukan, PANTI ASUHAN. Alangkah terkejutnya aku kalau benar kamu tinggal di panti asuhan, tapi memang tak ada rumah lain di sini. Tak kalah terkejutnya aku melihat banyak orang di sana dengan mobil putih bersirine yang ada di depannya. Tanpa buang-buang waktu, aku yang masih berseragam sekolah langsung masuk ke panti asuhan itu. Tak satu kata pun yang keluar dari mulutku. Aku berdiri bak patung saat melihat kamu terbaring kaku dengan kain putih menyelimuti sekujur tubuhmu dan isak tangis orang-orang di sekelilingmu. Tak sangka secepat ini kamu lambaikan tangan, air mata tak mampu lagi keluar, bahkan tubuhku pun tak mampu ku kuasai. Separuh jiwaku hilang, benar-benar hilang, lepas dari raga yang kini kembali rapuh. 

Seketika, aku sudah ada di tempat tidurku. Aku suka sekali menggigit selimut, menggenggam bantal, dan mendengungkan sesuatu yang entah apa, pandanganku hampa, hanya terlihat sosok wanita yang berkaca-kaca matanya, ia memelukku erat terlihat sangat menyayangiku. Jikalah itu ibu, haruskah ia melihat anaknya setengah gila baru ia mempedulikanku?





Cerita fiksi ini khusus dibuat untuk diikutkan dalam Giveaway bareng  ELISA-BLOG.COM dan NFIRMANSYAH.COM



<body oncontextmenu='return false;' onkeydown='return false;' onmousedown='return false;'/>

14 komentar:

  1. Kesibukan orang tua juga buat anaknya, tapi banyak disalah artikan kalau sibuknya ortu membuat anak tidak terurus. [-( padahal itu bisa membuat anak semakin mandiri ketika beranjak besar nanti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. dibalik negatifnya ada positifnya juga sih, tp lebih baik kalo seimbang :)

      Hapus
  2. wah tulisannya menyentuh, yah sih terkadang kita harus merelakan waktu untuk suatu kebutuhan benar2 diperlukan, tapi kita juga harus bisa membagi waktu tersebut,untuk orang yang kita sayangi :-)

    BalasHapus
  3. Jujur... salut dan suka sma fiksinya ini. Alurnya mengalir begitu saja. Pesan moral utk pmbaca pun juga baik.

    Memang berat skali jika org yg baru kita kenal memberi angin segar utk khidupan kita. Tanpa sadar ia harus hilang bahkan hilang itu utk smentara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasi sudah baca :)

      Iya kehilangan memenag sangat berat sekali walaupun harus tetap ikhlas pada akhirnya...

      Hapus
  4. Great story, so touching ..! Ada pesan kebaikan di sana.

    Wahai ortu, Pentingnya didikan agama dlm sebuah keluarga.

    Allah lindungi sosok yg sdg rapuh dari rayuan musang berbulu domba yg menjerumuskan kpd hal2 yg dilarang, ...

    Segera bersimpuh di hadapanNya, hanya Dia yg dpt melindungi kita.

    Bahkan "kehilangan" pun dpt sewaktu2 datang ...

    Wish you luck of giveaway (f) 'dek Kautsar, tulisannya bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasi kakak motivasi sekali komentarnya #bighug :)

      Hapus
  5. kukira ini sungguhan, ternyata aku tertipu hihihi. tulisannya bagus, terasa nyata dan mengalir :)

    BalasHapus
  6. Kalau kita hidup dialam pikiran orang lain. Pasti akan terombang-ambing. Tidak akan mempu mengerti kenapa ibu atau orang tua bekerja. Semua demi siapa ? itu pertanyaan yang harus dijawab pada diri anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anggap saja itu perjalanan mencari jati diri. Terima kasih kunjungannya ...

      Hapus

Komentar kalian motivasi menulis saya. Terima kasih atas komentarnya :)