Rabu, 03 Agustus 2016

Teruntuk Bulbin Hitam-Putih

Bulbin Hitam-Putih,

Bulbin. Begitu kamu menamaimu. Kamu suka sekali malam, kamu suka memandang bulan dan bintang. Mungkin itu alasan kamu menyebut dirimu Bulbin, bulan bintang. Hitam-Putih? Entah apa maksudnya, aku belum sempat bertanya dan tidak akan pernah sempat.

Aku ingat bagaimana caramu memuji purnama di malam yang cerah. Kawah bulan jelas sekali terlihat, matahari di belakangnya gagah sekali menyinari sempurna bulan malam itu. Kamu mencari-cari celah untuk menemukan cacatnya. Namun purnama itu nyaris sempurna. Tidak ada yang tak pantas dipuji. Ditambah lagi bintang-bintang di sekelilingnya, bertaburan di hamparan langit malam. Bagimu, hanya ada satu yang dapat menandingi indahnya, oh tidak menandingi, tapi sama indahnya. Kamu ingat bagaimana tergila-gilanya kamu ketika melihat sabit yang ditemani venus, ah romantis sekali mereka berdua di langit. Indah, yah memang indah, seperti melihat bagian atas masjid.

Sedangkan aku? Aku suka siang, aku suka sekali awan. Saat ia diarak angin, dalam hitungan detik sulit sekali mendapatkan bentuk yang sama. Bentuknya indah dan tak pernah sama di mata kita, mereka unik, terkadang melebur dan terkadang membelah diri layaknya amoeba. Bentuknya sesuai imajinasi. Kamu ingat waktu kita menebak-nebak bentuk kumulus? Kita selalu berdebat. Yah, kumulus... bagaimana bisa awan yang seperti bunga kol itu mengundang selisih di antara kita? Lucu sekali mengingatnya.

Perbedaan itu tak lantas memisahkan kita. Kita semakin dekat. Kita sama-sama menjadi lebih sering memandang langit. Dulu, kamu sering mengajakku menatap langit malam. Meski kita di tempat yang berbeda, langit kita tetap sama, dengan satu bulan dan ribuan bintang menemaninya.

Kini, semua tak mungkin lagi kita lakukan bersama, karena kehidupan yang menjarakkan kita, sejak kau memilih meninggalkan hiruk pikuk dunia. Tuhan cepat sekali memanggilmu, aku yakin itu karena Ia sayang.

Firasat, Jum'at 27 Mei 2011.

Bin, kehilanganmu adalah pertama kalinya aku merasakan firasat.

Entah kenapa saat itu aku tiba-tiba sangat merindukanmu. Semenjak kita tamat sekolah dan berpisah kota, kita memang jarang sekali berjumpa. Terakhir kita bertemu tepat sehari sebelum lebaran tahun lalu. Kamu ingat lagu yang aku selipkan di handphone-mu saat itu? Lagu itu pula yang aku putar tepat beberapa hari sebelum kepergianmu.

Aku menikmati sore itu dengan mendengar musik yang terputar secara random di ponselku. Kamu tahu? Aku tiba-tiba tertegun saat lagu yang ku kirimkan itu dimainkan. Perasaanku membuncah, kerinduanku menyesakkan. Anehnya kantung mata ini tak sanggup menahan air bening yang mengalir tanpa permisi. Isak itu datang tanpa sebab.

Saat itu hampir jam empat sore, aku berniat menelponmu, mencurahkan kerinduan yang datang seenaknya. Sebenarnya aku juga berniat meminta maaf karena tidak membalas sms-mu yang sebenarnya bergetar saat aku membacanya, aku juga berencana meminta maaf karena tak mengucapkan selamat di hari ulang tahunmu dua bulan yang lalu. Asal kamu tahu Bin, aku tak pernah lupa hari ulang tahunmu, bahkan sampai sekarang, tapi entah kenapa enggan sekali waktu itu mengucapkannya. Padahal kamu selalu rela menelponku tengah malam sekadar memberikan ucapan dan do'a tepat di tanggal kelahiranku. Kamu bilang kamu ingin jadi orang yang pertama yang memberikan selamat. Bukankah itu berarti istimewa?

Yah, aku ingin sekali menelponmu saat itu, tapi belum sempat aku lakukan salah seorang teman kampusku tiba-tiba menelpon memberi tahu ada perkuliahan sore itu. Hey... sudah jam 4 lewat? Dosen mana yang tega memecah rindu dengan dua SKS dadakan sesore itu. Karena sudah beberapa kali absen di mata kuliah itu, mau tidak mau ku paksakan juga secepat mungkin menuju kampus, tanpa sadar ku urungkan niatku menelponmu.

Kamis, 2 Juni 2011

Belum tepat pukul enam pagi, telepon rumah berdering nyaring, ku sendiri yang mengangkatnya, ternyata telepon dari temanku yang juga temanmu, Bin. Tanpa basa basi, katanya kamu telah pergi. Pergi dan tak akan pernah kembali. Kecelakaan itu telah memisahkan ruh dari jasadmu. Awalnya aku tak percaya, tapi ia berusaha meyakinkanku. Ia tinggal di dekat rumah kerabatmu, dan ia tahu kabarmu dari kerabatmu itu, ia ingin aku percaya, tapi bagaimana bisa?

Kututup telepon itu, ku langsung menuju ibu, kuceritakan siapa yang baru saja menelpon dan apa yang disampaikannya. Melihat mataku yang berkaca-kaca, ibu langsung menenangkanku. Ibuku juga sangat mengenalmu, Bin. Dari wajahnya mengisyaratkan bahwa dia juga tidak percaya dengan kepergianmu. Kami masih berharap berita itu hanya isu yang disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ibuku menyuruhku memastikan berita itu langsung ke rumah nenekmu yang juga rumah tempat kamu dibesarkan.

Pagi itu juga aku yang masih dengan baju tidurku langsung ke rumah nenekmu yang juga ku anggap rumahmu. Tak butuh lebih dari sepuluh menit untuk ke situ. Baru sampai di depan lorong, tanganku mengeras, tak sanggup rasanya mengendalikan motorku untuk lebih dekat ke rumahmu. Tapi kupaksakan juga.

Sepagi itu rumahmu sudah ramai, rasanya tak perlu lagi bertanya, aku sudah tahu jawaban dari semua keraguanku. Tanpa menghiraukan siapapun, aku langsung masuk ke rumahmu dan ku temui sosok yang benar-benar ku kenal, nenekmu. Nenek yang telah membesarkanmu. Lama juga kamu bertahan tanpa dekat dengan orang tuamu, sejak mereka ditugaskan ke luar kota entah kenapa kamu lebih memilih tinggal bersama nenek. Mungkin karena itu kamu dan nenek itu menjadi sangat dekat.    

Nenekmu menatap sendu ke arahku, ia seolah mengerti apa yang akan kutanyakan. Ia belum menjawab apa-apa karena memang aku belum menanyakan apa-apa. Tapi aku sangat mengerti situasi ini, pandangannya sudah menjelaskan semua. Kami beradu pandang kemudian seketika ia langsung mengangguk dan menyuruhku bersabar. Ia menjawab tanpa butuh pertanyaan, tepat sekali dengan apa yang ingin ku tanyakan. Seperti halnya bom waktu yang dalam hitungan detik meledak tak terkendali. Air mata yang tadinya enggan mengalir kini tumpah sejadi-jadinya. Seharusnya aku datang memenangkan nenekmu, tapi apa yang kulakukan, aku malah menyusahkannya, ia yang malah berusaha menenangkanku. Tubuhku membeku, sulit sekali digerakkan tapi lebih sulit lagi menerima kenyataan bahwa kamu telah pergi jauh.

Setelah aku merasa cukup kuat, aku pulang untuk mengganti pakaian, selanjutnya aku kembali ke rumahmu, menanti jasadmu yang dikirim dari kota tempatmu menuntut ilmu. Aku menunggumu dengan lebih tenang, tanpa air mata. Di detik-detik kehadiranmu, aku masih berharap itu bukan kamu. Tapi kenyataan tak bisa terelakkan. Bunyi sirine mengaung mendekat, memecahkan keheningan yang sengaja kami bentuk. Kini kamu sudah ada di hadapanku, terbaring kaku dengan balutan kain putih yang menyelimutimu. Ternyata aku tak sekuat yang ku duga, tangisku pecah Bin, setengah mati rasanya.

Keluargamu memberi kesempatan untuk melihatmu lebih dekat untuk yang terakhir kali, tapi tak kulakukan. Melihatmu hanya mengundang kembali penyesalan. Aku menyesal, kemarin aku tak jadi menelponmu, aku menyesal belum sempat meminta maaf, dan aku menyesal tak membalas sms itu, pesan singkat yang menggetarkan.

Ternyata bukan cuma aku yang kamu kirimkan pesan singkat itu, kamu juga mengirimnya ke sahabat-sahabatku yang juga sahabatmu. Di pesan itu tersirat kalau kamu membutuhkan kami, kamu tak bisa jauh dari kami. Kalau dipikir-pikir pesan itu cukup berlebihan, tapi menjadi sesuatu ketika kamu telah pergi. Itu pesan terakhir darimu, dan mungkin itu isyarat kepergianmu. Bodohnya aku yang terlambat tahu.

Siang itu, aku tak peduli ada perkuliahan apa, aku ingin terus menemanimu hingga ke peristirahatan terakhirmu. Aku lakukan semua bukan untuk menebus penyesalanku, tapi karena memang aku belum siap melepasmu.

Aku hanya manusia biasa yang tak bisa mengelak dari takdir Yang Kuasa. Waktu yang akan menuntunku, hingga ku ikhlas menerima bahwa sekarang aku tanpamu.

Malam setelah kepergianmu.

Kerinduan tiba-tiba membelenggu, apa yang bisa ku lakukan? Hanya untaian do'a yang ku titip pada Yang Kuasa. Malam itu aku stalking media sosialmu, rasanya seperti dihujam pisau tumpul, menyayat kuat hingga luka juga akhirnya. Betapa banyak ucapan lekas sembuh dari teman-teman kampusmu, teman satu kosmu, serta keluargamu. Oh... bisa-bisanya aku tak tahu kamu sakit selama itu, dan aku tak tahu kamu sempat koma. Lebih terperangah aku melihat link yang di-share oleh temanmu tentang berita kecelakaan itu. Bagaimana bisa tulisan-tulisan penting itu tak terbaca sebelum aku harus kehilanganmu? Padahal banyak media online yang memberitakan kejadian itu "Ledakan Tabung Gas Elpiji di Kos Mahasiswa", berita itu juga sempat jadi head line di media cetak lokal saat itu. Meleleh rasanya ketika mengeja namamu tercantum di daftar korban yang sempat terpanggang akibat ledakan itu. 

Bersyukurnya kamu masih diberi kesempatan hidup, meski akhirnya di rumah sakit juga kamu habiskan sisa hidupmu. Walaupun tubuhmu dibalut perban putih, kamu sempat pulih, bahkan kamu sudah mulai suka bercanda lagi, kamu juga sudah bisa menikmati jus alpukat kesukaanmu, ibumu yang menceritakan semuanya padaku. Kata ibumu, tanda-tanda kamu akan pulih kembali itu sangat besar, bahkan dokter yang bilang. Ibumu berjanji akan menghadiahimu operasi plastik setelah kamu sudah benar-benar kuat. Namun dokter tetaplah manusia biasa yang tak tahu entah kapan Tuhan memanggil pasiennya. Yah, saat itu masih dengan aroma alpukat, kamu tiba-tiba saja melemah kemudian menutup mata untuk selamanya. Mungkin benar kata ibumu, seseorang yang merasa ia akan pergi, ia akan menjejakkan hal indah untuk orang yang ditinggalkannya.

Jujur aku sempat kecewa sebab kamu tak berusaha memberi kabar tentang keadaanmu, tapi kekecewaan itu berbalik kembali menjadi penyesalan ketika aku menduga kamu pun juga sudah kecewa terhadapku. Jikalah begitu, benarkah berarti kita pernah saling mengecewakan, Bin? 

2016

Lima tahun setelah kepergianmu, lima tahun bukankah itu sudah sangat lama? Kini, seharusnya aku sudah melupakanmu. Tapi tidak, aku tidak bisa benar-benar melupakanmu, setelah hampir enam tahun kebersamaan kita. Bagaimana mungkin aku melupakan setiap kenangan yang kita ciptakan, bagaimana bisa aku melupakan bulan bintang padahal hampir setiap malam aku memandangnya, bagaimana bisa aku melupakan awan yang sering mengundang perdebatan di antara kita, bagaimana pula aku melupakan hal-hal yang ingin kita wujudkan bersama.

Bin, kamu ingat? Dulu kita pernah berkhayal punya sekolah sendiri, membuat aturan sendiri, dan memilih siapa saja yang akan kita gratiskan sekolahnya. Gedung sekolahnya kita cat berwarna biru, di gerbangnya kita tulis kata "Blue", alasannya sederhana cuma karena memang kita sama-sama suka warna langit. Di sekolah, kita jugalah yang akan mengajar nantinya, untuk itu kita harus mengambil kuliah dengan jurusan yang berbeda meskipun di fakultas yang sama, pendidikan.

Berkhayal, yah berkhayal, dulu kita menganggapnya berkhayal, tapi sekarang tidak, Bin. Aku sudah mencatatnya di daftar mimpiku dan aku masih berjuang untuk itu. Berjuang untuk mewujudkan khayalan kita.

Bin, belum lama ini aku memimpikan adikmu. Kami duduk di tepi sungai terpanjang di kota kita, memandangi menara yang menghujam langit jingga. Kami bicara begitu akrab, mengenang kisah semasa hidupmu. Padahal belum pernah kami bertemu langsung, hanya pernah melihatnya sekilas di acara pemakamanmu. Sekarang kalaupun ditakdirkan bertemu mungkin kami tak saling mengenal. Entah bagaimana caranya ia bisa berkelana dalam tidurku.

Mimpi itu, Bin. Mimpi itulah yang sekarang memanggil semua ingatan tentangmu. Mimpi itu yang menyeretku kembali ke masa itu. Mimpi itu pula yang kini mengundang rindu.

Bin, merindukanmu itu sama saja memanggil kembali perasaan bersalahku, kecewa, penyesalan, atau apalah itu namanya, semua yang tak ingin ku ingat, karena terlalu menyakitkan. 

Bin, tahun pertama dan kedua aku masih sering mengunjungi makammu, tahun berikutnya aku masih sering menyelipkan namamu dalam do'aku. Dulu aku masih sering menggugu ketika mendengar lagu itu. Sekarang? Di tahun kelima ini apa yang aku lakukan? Percayalah Bin, aku tak pernah berniat melupakanmu. Namun jangan salahkan waktu yang perlahan menghapus bayanganmu. 


Sahabatmu, 


Awan  

* * * * *

Belakangan saya sering membaca surat terbuka teman-teman saat blogwalking. Macam-macam tujuannya. Coretan ini terinspirasi dari kalian. Misalkan boleh coretan ini dinamakan surat terbuka, maka saya berharap Tuhan menyampaikannya untuk sahabat saya yang telah lebih dahulu menghadap-Nya. Semoga kami kelak dipertemukan di surga. Amin. Al-Fatihah.  

27 komentar:

  1. Persahabatan yang abadi, senangnya punya sahabat seperti Awan. hehehe
    tulisan mbak bagus-bagus. bolehlah sharing-sharing hehehee.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih tya, blog tya juga keren :)
      Yukkk kia sharing-sharing, kita udah kenal kan ya...hehe

      Hapus
  2. Mataku berkaca kaca baca ini :')

    Suka malam? Hitam dan putih? Mungkin maksudnya dia hitam karena malam dan kamu putih karena suka siang. Ataukah bulan dan bintang terlihat putih sinarnya diantara malam yang hitam pekat? Entahlah..

    Seakan kejadiannya barusan dan cerita ini mengingatkanku akan sahabatku yang meninggal 11 tahun lalu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Al-Fatihah ya mbak untuk sahabat-sahabat kita :)

      Iya ya, mungkin itu ya maksudnya, kok nggak pernah kepikiran :')

      Hapus
  3. terharu bacanya saya... ceritanya menyentuh hati...
    sukses ya..

    BalasHapus
  4. sungguh kehilangan yang menyayat hati

    BalasHapus
  5. Hmmm sedih juga ya mbak, iya mbak saya juga mampir ke blog lain dan kebanyakan isinya tentang surat seperti ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. KAyaknya emang lagi musim surat terbuka... hmmm :)

      Hapus
  6. Amin.
    Mudah-mudahan keinginan kamu bisa tersampaikan :)

    BalasHapus
  7. aku juga dulu ada sahabat, se SMP, Kuliah bareng, bahkan beberapa kali duduk sebangku, namun setelah menikah sahabatku itu diuji sakit yang lumayan bikin kami kaget, akhirnya meninggal di usianya yang ke 25, aku pas smp pisah sma aja nangis, terus ketemu lagi kuliah, lulusan nikah eh dia dipanggil duluan..rasanya ga bisa diungkap, nyesek

    BalasHapus
    Balasan
    1. tidak perlu ikatan darah ya dalam persahabatan :')
      mungkin benar "orang yang selalu membuatmu tertawa, akan membuatmu menangis di akhir hidupnya" :')

      Hapus
  8. Kalau bicara masalah sahabat gini bawaanya mewek mewek gimana gitu..
    meweknya karena kita terpisah oleh kesibukan..
    nggak bisa kumpul2 kayak dulu lagi :-(

    BalasHapus
  9. Mungkin ini sebuah pelajaran yang sangat berharga, bahwa jangan menunda apa yang ingin kita lakukan pada seseorang sebab bisa jadi ini adalah hal terakhir yang bisa kita lakukan untuknya.

    Setiap pertemuan memang harus diakhiri dengan perpisahan ya mbak Kautsar, semoga temannya diberi tempat yang terbaik disisi Allah SWT, aamiin..

    BalasHapus
  10. andai ada yang mau, saya ingin jadi awan wkwkw

    BalasHapus
  11. Keren, makna tulisannya dalam, tentang persahabatan ya, jadi terharu :-(

    BalasHapus
  12. keren-keren, saya jadi ingin nulis surat terbuka juga di blog :D

    BalasHapus
  13. Keren karyanya. Eh mbak kenapa gak dikirim aja ke media cetak. Kayaknya punya bakat deh hehe

    BalasHapus
  14. Udah lama kepikiran untuk nulis surat terbuka, tapi masih ragu. Banyak kekhawatiran...ceh ileh... :D hahah

    BalasHapus
  15. Penyesalan datangnya memang terakhir, untuk pelajaran, harus sering sering silahturahmi.

    BalasHapus
  16. assalamualaikum kautsar, sudah pernah nulis cerita pendek di koran? atau ada niat nulis buku fiksi?

    BalasHapus
  17. jarang jarang ikatan persahabatan seperti ini sampai sampai ada ikatan batin.. nahan nangis.
    salam kenal mba,tulisannya bagus

    BalasHapus
  18. Kalo sudah berpisah dan kehilangan, biasa nya kita baru sadar ttg arti sebuah kebersamaan dan memiliki

    BalasHapus

Komentar kalian motivasi menulis saya. Terima kasih atas komentarnya :)